Kamis, 30 November 2017

Enter The Void

Menonton Enter The Void mengingatkan saya bahwa betapa menakjubkannya arti memori dan sebuah masa. 

Bahwa sampai sekarang, saya masih ingat pengalaman atau cerita-cerita kecil yang terjadi di saat saya masih berusia 8, 9 atau 11 tahun. Hanya tinggal memejamkan mata dan rasanya itu baru terjadi kemarin. 

Antara menyedihkan dan luar biasanya dunia ini. Bagaimana mungkin kekerasan dan cinta bisa tinggal di tempat yang sama? Bagaimana bisa dunia ini hanya sepenggal cerita dongeng yang bisa dengan mudahnya berakhir dan lalu manusia tidak tahu lagi kemana mereka akan pergi?

Gaspar Noe memang selalu membuat film yang beda dari yang lain. Dan ini adalah sebuah mimpi. Dan mimpi kadang abstrak, penuh gabungan antara hal yang mencekam, yang manis, yang indah, yang menakutkan, yang menyedihkan dan yang sulit untuk dilupakan. 



Jadi saya ulang lagi pertanyaannya, 

Bagaimana mungkin kekerasan dan cinta bisa tinggal di tempat yang sama? 

Kembali.

Entah kapan terakhir kali saya menulis yang panjang dan bermakna disini. Bahkan untuk bercerita saja saya sudah terlalu malas. 

Entah karena energi yang sudah keburu habis untuk sekedar berangkat ke kantor, jam-jam menunggu di halte, berdesak-desakan di busway yang penuh, dan hal yang sama terulang ketika pulang nanti. 

Padahal saat-saat menunggu atau bosan di dalam bis itu adalah waktu dimana banyak cerita hadir dengan lebih mudah. Melihat penumpang yang beragam, yang melihat smartphone dan tak sengaja saya baca chat Whatsapp-nya, yang terantuk-antuk, yang membawa anak, yang terus melihat ke arah tempat duduk yang terisi penuh karena nampak kakinya sudah tidak kuat lagi berdiri.

Saya bisa dengan mudah membayangkan cerita-cerita lahir tentang ini. Tentang mereka yang pergi sejak pagi dan baru pulang di sore atau malah malam hari. Tentang gedung-gedung tinggi yang sering saya lihat dari bawah, yang setiap jendelanya pasti punya cerita tentang berbagai pekerja kantoran.

Saya teringat bahwa beberapa tahun yang lalu, saya terbuka akan cerita-cerita kecil ini. Saya rajin dan antusias. Namun kemudian energi itu seakan mudah lenyap begitu saya menjadi salah satu dari orang-orang ini. 

Ketika saya tahu bahwa semua orang di kota ini begitu rela melakukan banyak hal untuk satu hal. Ketika bekerja dan mendapat gaji yang mungkin tidak amat besar adalah harga yang mereka bayar untuk rela membuang-buang waktu di jalanan. Setiap hari saya melihat penumpang yang berbeda-beda dan ingin tahu bagaimana kehidupan mereka. Saya melihat wajah lelah, wajah ceria, wajah bosan, wajah-wajah yang hanya ingin bisa sampai ke rumah dengan tenang. Kadang saya berpikir, seperti apa keluarga mereka? Adakah yang datang dan menyambut mereka di depan pintu? Pikiran-pikiran kecil dan rumit yang seharusnya tetap saya pelihara agar saya bisa sadar bahwa saya masih mampu menulis. Agar saya bisa meyakinkan diri saya, saya masih mampu menulis. 

Tapi dengan mudah cerita-cerita dan keingintahuan itu takhluk oleh kemalasan. Keinginan saya hilang hanya begitu saya sampai kasur dan tertidur. Cerita-cerita dalam pikiran hanya berakhir untuk dilupakan. Saya menjadi apa yang biasa saya remehkan beberapa tahun lalu : makhluk-makhluk kosong yang hanya menjalani hari kosong. Tapi kemudian saya jadi lebih bisa menghargai. Mungkin memang kita hanya hidup seperti ini. Mungkin memang kita harus belajar untuk mencintai hal-hal kecil. Manusia hidup dengan pilihannya menjadi besar atau sederhana, dan tidak pernah ada yang salah. 

Semoga saja tulisan ini bisa menjadi awal dari saya mulai menulis lagi. 

Sabtu, 25 November 2017

"Ini aneh gak sih kita udah seumur gini, orang pada umumnya udah kerja dan pada nikah, yang kita cari temen yang cocok satu aja susah."

- Chat 24 November 2017.

Senin, 06 November 2017

In Search of Midnight Kiss




Bagaimana kalau saya atau kita hanya jatuh cinta dengan konsep cinta itu sendiri. Bagaimana bila right person itu tidak pernah ada, hanya sekedar kita yang mencoba berusaha atau bahkan memaksakan hati untuk satu orang. Bagaimana kalau romansa itu tidak lebih hanya manipulasi perasaan kita sendiri, keinginan untuk begitu ingin merasakan bahagia walau sebenarnya ada ironi di belakangnya yang tidak pernah kita tahu (atau menolak kita pahami). Bagaimana kalau kita hanya kesepian dan cinta yang sempurna itu hanya hadir sekedar dalam gambar-gambar indah hitam putih yang kalau kita telaah lagi tidak sesempurna itu.

Lalu apa yang ingin kita temukan? Benarkah hidup hanya sekedar ini saja dan kita hanya ditinggalkan dengan segelintir pilihan? Belajar memaknai pahit sebagai manis dan belajar menerima patah hati. Film yang membuat saya berpikir lagi tentang pertemuan, "the right one" dan menerima. 

"Will you think of me next year at midnight?"

Dan mata saya pun tidak bisa menahan untuk tidak berkaca-kaca.